Di Balik Rampas Aksaku di Kala Renjana Teduh: Sebuah Luka yang Menjadi Cerita
Ada luka yang tak memilih untuk sembuh—ia hanya berubah bentuk.
Kadang menjadi gumam di tengah malam, kadang menjelma renjana yang teduh, tapi getir. Dari situlah lahir sebuah cerita yang akhirnya kutulis menjadi Rampas Aksaku di Kala Renjana Teduh.
Cerpen ini tidak hanya bicara tentang kehilangan, tapi juga tentang pertarungan diam-diam antara hati yang ingin bertahan dan logika yang memaksa pergi. Ia lahir dari pertemuan yang tak pernah kuserahkan pada takdir, namun tetap kupeluk di kepala.
Kenapa Aku Menulisnya
Ada fase di hidupku ketika aku belajar bahwa mencintai tidak selalu berarti memiliki. Dari percakapan-percakapan yang tak selesai, dari tatapan yang menggantung di udara, dari jeda yang terlalu lama untuk diartikan.
Aku menulisnya bukan untuk menghapus, tapi untuk merawat—sebab ada kisah yang terlalu berharga untuk dibuang, meski ia menyakitkan.
“Kau adalah sunyi yang kupelihara di dadaku, Aksa.
Bahkan ketika dunia memaksaku melupakanmu, aku memilih menulis namamu dalam hujan.”
Potongan Cerpen
Senja itu jatuh perlahan di antara dedaunan. Aksa berdiri di ujung jalan, membawa tatapan yang lebih berat dari langit. Aku ingin berlari menghampirinya, tapi ada garis tak kasatmata yang membatasi langkahku. Garis itu bernama ‘yang seharusnya tak pernah dimulai’. Di matanya, aku melihat musim gugur yang tidak sempat kembali menjadi semi.
Cerpen ini adalah pertemuan antara luka, langit, dan kata-kata yang menolak padam.
Jika kamu ingin membaca kisah ini hingga akhir—dan menemukan kenapa Aksa harus dirampas dari renjana yang teduh—

Komentar
Posting Komentar