Postingan

Trilogi Kavindra & Anasera: Prosa Liris tentang Rumah, Luka, dan Keberanian Mencintai

Gambar
Pernahkah kamu merasa bahwa rumah bukan sekadar bangunan, melainkan keberanian untuk tetap tinggal meski hati penuh retak? Dari keresahan itu, lahirlah Trilogi Kavindra & Anasera—sebuah karya puitis yang menyingkap luka, sunyi, dan cinta dengan bahasa melankolis yang menyentuh. Ditulis oleh AksaRad, penulis prosa liris kontemporer, trilogi ini mengajak pembaca masuk ke dalam tiga perjalanan batin: Anasera – Tak Ingin Jadi Rumah: suara seorang perempuan yang menolak definisi cinta sebagai kewajiban. Kavindra – Keberanian Sunyi Seorang Penunggu: perjalanan seorang lelaki yang menemukan makna kesunyian di tengah kota. Kavindra & Anasera – Keberanian untuk Menjadi Rumah: pertemuan dua jiwa rapuh, yang saling menguji sekaligus saling merawat. Mengapa kamu perlu membaca trilogi ini? Karena ia bukan kisah cinta yang manis, melainkan cermin kehidupan: tentang luka, keberanian, dan kejujuran hati. Ia adalah prosa yang lirih, melankolis, dan filosofis—sebuah teman sunyi yang akan...

Rampas Aksaku di Kala Renjana Teduh — Kutipan yang Menyentuh Luka dan Pulang ke Diri

Ada kisah yang tak menuntut untuk dimengerti, hanya untuk dirasakan. Rampas Aksaku di Kala Renjana Teduh adalah perjalanan Renjana—tentang hadir yang tak selalu menetap, tentang pergi yang tak selalu diiringi kata selamat tinggal, dan tentang menemukan rumah di dalam diri sendiri. Di antara hujan dan senja, aku menyimpan kata-kata ini—bukan hanya untuk mengenang, tapi juga untuk menguatkan. 1. “Pertemuan tak selalu memberi jawaban.” (Bab 1: Perkenalan) Kadang, seseorang hadir hanya untuk menjadi penggalan cerita, bukan keseluruhan bab. Dari pertemuan itu kita belajar, bahwa awal yang indah pun bisa berakhir tanpa alasan yang jelas. 2. “Mungkin bukan tempatnya yang istimewa, tapi karena ada kamu di dalamnya.” (Bab 2: Setiap Tempat Adalah Kita) Ruang akan selalu kosong sampai diisi oleh kehadiran seseorang. Kadang, bukan tentang di mana kita berada, tapi dengan siapa kita menghabiskan waktu. 3. “Tak ada yang lebih sunyi dari cinta yang berjalan sendiri.” (Bab 3: Pergeseran Arah) Keti...

Di Balik Rampas Aksaku di Kala Renjana Teduh: Sebuah Luka yang Menjadi Cerita

Gambar
Ada luka yang tak memilih untuk sembuh—ia hanya berubah bentuk. Kadang menjadi gumam di tengah malam, kadang menjelma renjana yang teduh, tapi getir. Dari situlah lahir sebuah cerita yang akhirnya kutulis menjadi Rampas Aksaku di Kala Renjana Teduh. Cerpen ini tidak hanya bicara tentang kehilangan, tapi juga tentang pertarungan diam-diam antara hati yang ingin bertahan dan logika yang memaksa pergi. Ia lahir dari pertemuan yang tak pernah kuserahkan pada takdir, namun tetap kupeluk di kepala. Kenapa Aku Menulisnya Ada fase di hidupku ketika aku belajar bahwa mencintai tidak selalu berarti memiliki. Dari percakapan-percakapan yang tak selesai, dari tatapan yang menggantung di udara, dari jeda yang terlalu lama untuk diartikan. Aku menulisnya bukan untuk menghapus, tapi untuk merawat—sebab ada kisah yang terlalu berharga untuk dibuang, meski ia menyakitkan. “Kau adalah sunyi yang kupelihara di dadaku, Aksa. Bahkan ketika dunia memaksaku melupakanmu, aku memilih menulis namamu dal...

Kembali Menyulam Kata: Perjalanan Baru Aksarad dari Luka, Senja, dan Langit

Gambar
Pernah ada masa ketika kata-kata memilih untuk diam. Bukan karena ia kehilangan bahasa, tetapi karena ia sedang belajar mendengar sunyi. Di antara malam yang menua dan senja yang tak pernah benar-benar pergi, aku—Aksarad—kembali. Membawa luka yang telah menjelma puisi, membawa renjana yang pernah patah lalu tumbuh lagi, membawa langit yang kembali mau bercerita. Aku pernah berjalan jauh dalam hening, menulis kisah-kisah yang lahir dari gumam hati. Dari Metaforsa Sunyi yang Melebur hingga Rampas Aksaku di Kala Renjana Teduh, setiap karya adalah perjalanan batin yang menuntunku pada metamorfosa rasa. Namun waktu memanggilku untuk jeda—membiarkan kata mengendap, membiarkan luka menakar dirinya sendiri. Kini aku kembali, bukan sekadar untuk menulis, tapi untuk membangun rumah baru bagi kata-kata. Blog ini akan menjadi tempat di mana puisi, cerpen, refleksi filosofis, dan catatan harian puitis bernaung. Tempat di mana langit, hujan, sunyi, dan aksa akan terus bercerita. Di sini, kamu ...

September

Tertatih setiap langkahnya Melebur disetiap jaraknya  Tertidur beralaskan rindu Menyelimuti realita yang bermaya Senja datang dengan keindahannya  Entah bagaiman menikmatinya diantara  Khawatir dan rindu Malam terhias bintang yang terbias  Akan perubahan yang tak berkompromi Jika skenario mu sedang membiasakan  Sesuatu hal yang sedang berjalan menyakitkan Perlahan, akan selalu mnyakitkan  Pengorbanan seperti apa lagi  Untuk menyatakan bahwa segalanya sudah dikorbankan  Bukan tentang masa depan  Tapi tentang waktu yang sedang ku gadaikan dengan hal yang menurutku benar. Kuruntuhkan setiap tembok yang kau bangun  Semakin tinggi menyentuh langit  Sejenak ku istirahatkan rindu yang terlilit oleh jarak Entah pengabdian apa yang sedang ku jalani  Setiap waktu selalu terluangkan untuk  Memikirkan bagaimana tembok itu tak terbangun dengan cepat. Tak bergairah akan segala yang telah dijalani  Bukan tak bersyukur namun, ada hal...

Tak Terarah

Hamparan merah tak berbekas  jika tak ada rintik manja dari abu hal yang indah tak selalu senja  kenanglah jingga jika kamu lebih membekas diantara  lembayung 

Hanya Menyapa

Masa lampau terlalu malang  Tak ada yang ingin menyambutnya  Walau hanya menyapanya  Masa sekarang tak terlalu nikmat  jika setelahnya tak ada etika  Masa lusa akan selalu menjadi masa depan  yang terencana tapi tak tentu terrealisasikan  Jika tak terlelap dalam ego